Journal Reading
Ketepatan
Transfusi Darah Perioperatif pada Pasien
yang Menjalani Operasi Kanker: Sebuah Penelitian Prospektif Single-Center
Priya Ranganathan, Sarfaraz Ahmed,
Atul P Kulkarni, Jigeeshu V Divatia
Department of Anaesthesiology,
Critical Care and Pain, Tata Memorial Hospital, Parel, Mumbai, Maharashtra,
India
Year : 2012 ; Volume : 56 ; Issue : 3
; Page : 234-237
ABSTRAK
Latar
Belakang : Transfusi darah secara alogenik sering dikaitkan
dengan beberapa komplikasi, terutama pada pasien kanker. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi rata-rata
kejadian transfusi darah perioperatif dan kejadian overtransfusi di rumah sakit
kanker tersier.
Metode
: Antara
bulan Maret dan Mei 2008, peneliti mempelajari semua pasien dewasa yang
menjalani operasi kanker mayor elektif dengan anestesi dan dicatat selama dan
setelah operasi (dalam waktu 24 jam) transfusi darah dan observasi pasca-operasi.
Overtransfusi didefinisikan sebagai hemoglobin (Hb) setelah transfusi yang melebihi
10 g / dL.
Hasil:
Seratus delapan puluh enam dari 1175 (16%) pasien menerima transfusi darah
perioperatif. Penyebab utama untuk dilakukan transfusi intraoperatif adalah karena
kehilangan darah melebihi maksimum (92,
49%). Sembilan puluh lima (51%) pasien yang ditransfusi memiliki Hb pasca
transfusi lebih dari 10 g / dL. Tingkat overtransfusi tidak terlalu tinggi pada
pasien yang menerima satu unit transfusi.
Kesimpulan:
Rata- rata transfusi perioperatif pada pasien yang menjalani operasi kanker
adalah 16%. Lebih dari setengah pasien tersebut mengalami overtransfusi.
Setelah penelitian ini, titik utama dalam fasilitas perawatan adalah dengan pengukuran hemoglobin intraoperatif.
Pendahuluan
Bahaya dari transfusi darah alogenik
dapat berupa penularan infeksi dan reaksi imunologi. Pada pasien kanker, ada
kekhawatiran tambahan tentang efek transfusi yang berhubungan dengan immunomodulasi
pada kekambuhan tumor dan kelangsungan hidup. Sebuah metaanalisis terbaru
menunjukkan hubungan antara transfusi perioperatif dan kambuhnya kanker
kolorektal. Penelitian terdahulu sudah menunjukkan bahwa pelaksanaan transfusi
darah perioperatif dan telah diketahui rata-rata transfusi yang sesuai antara
19 dan 53%. Telah terbukti bahwa penelitian tersebut dapat membantu untuk
mengidentifikasi masalah dalam pelaksanaan transfusi, mengatur dan menurunkan
rata-rata transfusi yang sesuai. Akan tetapi, terdapat kelangkaan literatur
yang diterbitkan di seluruh dunia mengenai prevalensi transfusi yang sesuai
setelah operasi kanker. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian prospektif
untuk memeriksa pelaksanaan transfusi darah perioperatif pada rumah sakit
kanker tersier yang menjadi rujukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi rata-rata pelaksanaan transfusi darah perioperatif dan kejadian
overtransfusi pada pasien dewasa yang menjalani operasi kanker elektif.
Metode
Penelitian ini
telah disetujui oleh Institutional Review Board. Peneliti mengumpulkan data
dari semua pasien dewasa yang berturut-turut menjalani operasi kanker mayor
elektif antara 1 Maret dan 31 Mei 2008.
Persetujuan pasien sebagai penelitian hanya melibatkan penggunaan grafik
anestesi, catatan pasien anonim dan catatan dari Departemen Kedokteran
Transfusi.
Seorang anaesthesiologis mengisi
formulir untuk setiap pasien, termasuk rincian kondisi pra-operasi dan
investigasi, kehilangan darah intra-operatif dan terapi cairan, darah dan
produk darah ditransfusikan (jika ada) dan setiap kejadian intraoperatif
diinvestigasi. Kehilangan darah intra-operatif dihitung dengan mengukur volume
darah dalam botol suction, dengan menimbang pel dan potongan kasa yang
digunakan selama operasi dan dengan estimasi visual loss di tempat kejadian. Pada saat penelitian ini, penelitian
yang dilakukan adalah untuk transfusi pasien yang kehilangan darah melebihi
kehilangan darah maksimum yang diijinkan (MABL) {[MABL = ( Hb pra-operasi – Hb
target ) / rata-rata Hb] * volume darah}. Untuk menghindari beberapa pengaruh terhadap
keputusan untuk transfusi, bentuk tersebut tidak termasuk daftar indikasi
diterima atau tidaknya untuk transfusi.
Namun, anaesthesiologis dianjurkan untuk mendokumentasikan alasan mereka melakukan
transfusi pada pasien.
Pada pasien yang mengalami
perdarahan intraoperatif masif (didefinisikan sebagai hilangnya lebih dari 80%
volume sirkulasi darah), perkiraan kehilangan darah dan penggantinya
kemungkinan tidak akurat - pasien tersebut dikeluarkan pada analisis
selanjutnya. Semua pasien ditindaklanjuti selama 24 jam setelah operasi untuk
mengidentifikasi transfusi pada periode post-operasi. Catatan-catatan itu
diperiksa ulang setiap hari dengan database elektronik dari Departemen
Kedokteran Transfusi untuk mengetahui transfusi yang mungkin tidak sengaja
terlewati. Data kasus dan catatan medis elektronik dari semua pasien pada
database diperiksa setelah operasi untuk mengumpulkan hasil dari penyelidikan
tersebut. Dimana alasan untuk transfusi tidak didokumentasikan, grafik anestesi
dan penyelidikan pasien dikaji untuk mengidentifikasi alasan yang mungkin..
Analisis statistik dilakukan dengan
menggunakan SPSS 18.0 (SPSS, USA). Transfusi darah perioperatif didefinisikan
sebagai transfusi sel darah merah (PRC atau whole blood) selama atau dalam
waktu 24 jam setelah operasi. Seorang pasien dianggap overtransfusi jika Hb
post-transfusi lebih dari 10 g / dL. Cut-off tersebut didasarkan pada pedoman ASA, yang menunjukkan
bahwa pasien dengan Hb lebih dari 10% g hampir tidak pernah membutuhkan
transfusi. Untuk mendukung analisis, dua anaesthesiologis senior mengklasifikasikan
tindakan bedah ke dalam tiga kategori operasi berdasarkan kemungkinan mereka
membutuhkan transfusi - rendah (misalnya, payudara, diseksi leher radikal
modifikasi, parotidectomy), sedang (misalnya, kolektomi, pancreatectomy,
oesophagectomy ) dan tinggi (misalnya, reseksi tulang pelvic mayor, reseksi
hepar, prostatektomi terbuka). Data dinyatakan dalam persentase untuk variabel
kategorikal dan rata-rata (dengan standar deviasi) atau median (dengan rentang
antarkuartil, IQR) untuk variabel kontinyu. P-value kurang dari 0,05 dianggap
signifikan untuk semua perbandingan dan tidak perlu penyesuaian dibuat untuk
perbandingan yang multipel.
Hasil
Selama penelitian, 1195 pasien
menjalani prosedur bedah elektif. Karakteristik demografi pasien ditunjukkan
pada [Tabel 1]. Rata-rata kehilangan darah intra-operatif adalah 250 ml. (IQR:
100, 562). Rata-rata kehilangan darah intra-operasi darah adalah 150 mL, 500 mL dan 512 mL dalam operasi
diklasifikasikan menjadi rendah, sedang dan tinggi yang kemungkinan membutuhkan
transfusi. Enam prosedur yang terlibat dalam kehilangan darah masif, tetapi ada
data yang tidak lengkap dan tindak lanjut pada 14 kasus, karena itu 1.175
pasien dilibatkan dalam analisis akhir. Dari jumlah tersebut, 186 pasien (16%)
memiliki setidaknya satu unit darah atau produk darah yang ditransfusi. Satu dan
dua unit transfusi menyumbang 40% untuk setiap transfusi total, dengan tersisa
tiga atau lebih unit. Alasan paling umum untuk transfusi adalah kehilangan
darah melebihi MABL (49%), Hb intraoperatif kurang dari 8 g / dL (14%),
ketidakstabilan hemodinamik (5%) dan antisipasi kehilangan darah lebih lanjut
(5%). Namun, pada 20% (38) pasien yang ditransfusi, tidak ada dokumentasi
mengenai alasan transfusi dan pada
catatan pemeriksaan pasien tidak ditemukan adanya indikasi tertentu untuk
transfusi. Sembilan puluh lima dari 186 pasien (51%) memiliki Hb post-transfusi lebih dari 10 g / dL dan
dianggap overtransfusi. Rata-rata overtransfusi tertinggi pada pasien yang
menerima 2 unit darah [Tabel 2]. Di antara 38 pasien yang menerima transfusi
untuk alasan yang tidak diketahui, 24 (63%) yang overtransfusi. Empat puluh
sembilan pasien dilakukan pemeriksaan Hb intraoperatif, dan 39 pasien yang menerima
transfusi.
Tabel 1.
Karakteristik demografi pasien
Jenis
Kelamin
·
Laki-laki
·
Perempuan
|
593
(49,6%)
602
(50,4 %)
|
Umur (dalam tahun)
·
Rata-rata (± SD)
|
48,6 (±13,4)
|
Berat
(dalam kg)
·
Rata-rata (± SD)
|
56,6 (±10,8)
|
Status
ASA
·
I
·
II
·
III
|
64%
34,6%
1,4%
|
Hb
(g %)
·
Rata-rata (± SD)
·
< 8
·
8,1-10
·
>10,1
|
12 (±1,7)
9 (0,8)
165 (13,4)
1021 (85,8)
|
Kemungkinan
membutuhkan transfusi (%)
·
Rendah
·
Sedang
·
Tinggi
|
799 (67)
348 (29)
48 (4)
|
Tabel 2. Jumlah
darah yang ditransfusi dan ketepatannya
Unit yang ditransfusi
|
Total yang ditransfusi
|
Ketepatan
|
Overtransfusi
|
1
2
3/
lebih
Total
|
74
75
37
186
|
41 (55)
28 (37)
22 (60)
91 (49)
|
33 (46)
47 (63)
15 (40)
95 (51)
|
Diskusi
Dampak dari transfusi darah alogenik
jangka panjang pada pasien yang menjalani operasi kanker masih belum jelas.
Sedangkan hasil metaanalisis mengarahkan pada "hubungan moderat"
antara transfusi darah alogenik dan kekambuhan dini pada pasien dengan kanker
kolorektal,tetapi hubungan sebab akibat
belum diketahui. Penelitian lebih lanjut tentang masalah tersebut dan jenis-jenis operasi kanker masih diperlukan.
Namun, bahaya lain dari transfusi darah, seperti reaksi transfusi, penularan infeksi
dan risiko mistransfusi, lebih baik ditindaklanjuti dan itu adalah fakta yang
diterima bahwa transfusi darah harus dibatasi pada situasi yang perlu. Sebuah
metaanalisis terbaru juga menegaskan bahwa strategi restriktif alogenik transfuse
dapat mengurangi tingkat infeksi perioperatif tanpa peningkatan tingkat
komplikasi seperti pada jantung atau kematian. Selain itu, darah menjadi sumber
daya yang berharga dan langka, sehingga setiap upaya harus dilakukan untuk
transfusi darah dan produk darah hanya bila penting. Dalam penelitian ini, penghitungan
transfusi memiliki peran penting dalam mengidentifikasi dan memperbaiki
kejadian transfusi yang tidak perlu.
Dalam penelitian prospektif mengenai
transfusi darah perioperative selama operasi kanker elektif, secara keseluruhan
rata-rata transfusi sel darah merah
adalah 16%. Lebih dari setengah dari transfusi mengakibatkan Hb post-transfusi
lebih dari 10 g / dL, dan dapat dianggap overtransfusi, baik dalam hal
keputusan untuk transfusi atau dalam hal volume darah yang ditransfusikan. Penghitungan
sebelumnya pada pasien bedah telah menemukan tingkat transfusi darah
perioperatif antara 16,7 dan 34%. Insiden overtransfusi dalam penelitian ini
bervariasi antara 19 dan 53%. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan dalam
populasi pasien, jenis operasi yang dilakukan dan kriteria yang digunakan untuk
mendefinisikan overtransfusi. Indikasi yang paling umum untuk transfusi
perioperatif pada penelitian ini adalah kehilangan darah melebihi MABL dan Hb
intraoperative yang rendah. Penelitian-penelitian lain telah menemukan Hb
rendah, kehilangan darah dan hipovolemia menjadi indikator untuk transfusi
perioperatif. Dua puluh persen dari transfusi dalam penelitian ini tidak
memiliki indikasi untuk transfusi. Kelompok pasien tersebut memiliki tingkat
tertinggi untuk mengalami overtransfusi (63%). Spencer menemukan bahwa kewajiban
mendokumentasikan alasan transfusi mengakibatkan penurunan yang signifikan
dalam kejadian transfusi yang tidak perlu
Penggunaan satu unit transfusi
sebelumnya dianggap sebagai indeks ketidaktepatan pelaksanaan transfusi. Namun,
kini diterima bahwa transfusi harus terbatas pada jumlah terkecil darah yang
dibutuhkan untuk menaikkan kondisi pasien di atas ambang transfusi dan
transfusi unit tunggal darah justru meningkat ketika kualitas program perbaikan
diperhatikan. Dalam penelitian ini, proporsi kejadian overtransfusi pada
penggunaan satu unit transfusi tidak lebih tinggi dibandingan dengan penggunaan
banyak transfusi. Namun, tingkat kejadian overtransfusi tertinggi terjadi pada
penggunaan dua unit transfusi, hal tersebut menunjukkan bahwa transfusi satu
unit mungkin sudah cukup pada pasien tersebut. Unit kedua mungkin diberikan
pada beberapa pasien karena kepercayaan di antara beberapa anaesthesiologis bahwa
transfusi satu unit itu tidak adekuat. Hal yang menarik juga ditemukan pada pasien yang ditransfusi untuk alasan yang
tidak jelas, biasanya digunakan satu unit transfusi, dan sebagian besar mengakibatkan
overtransfusi. Telah disarankan bahwa
penggunaan teknik perawatan dengan pemeriksaan Hb intraoperatif dapat
menurunkan angka kejadian transfusi yang tidak perlu. Dalam penelitian ini, 49
kasus telah dilakukan pemeriksaan Hb intraoperative dan 39 dari jumlah tersebut
mendapat transfusi, akan tetapi angka-angka tersebut terlalu kecil untuk menunjukkan
analisis bermakna.
Penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan. Nilai Hb pra-operasi yang digunakan untuk penghitungan MABL tidak
selalu digunakan. Hal tersebut dikarenakan peneliti ingin penelitian ini dapat mencerminkan kejadian klinis yang
sebenarnya dan tidak ada intervensi tambahan. Kedua, peneliti hanya memasukkan transfusi
sel darah merah dalam penelitian ini. Sedangkan, transfusi yang tidak tepat dari
produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma dan trombosit juga merupakan
masalah yang serius. Namun, kurang dari 1% dari pasien dalam penelitian ini
yang menerima fresh frozen plasma dan / atau transfusi trombosit - angka-angka
ini tidak memadai untuk dilakukan analisis. Ini mungkin bisa menjadi subyek
dari penelitian di kemudian hari. Selain itu, peneliti tidak membedakan antara PRC
dan transfusi whole blood.
Keakuratan penghitungan transfusi,
terutama yang retrospektif dipertanyakan dalam penelitian ini. Namun, tampak
bahwa penghitungan pelaksanaan transfusi dan pedoman transfusi memiliki peran
dalam mengidentifikasi dan mengurangi tingkat kejadian transfusi yang tidak
perlu. Spencer mempelajari pasien yang menjalani operasi replacement sendi elektif dan menemukan bahwa penegakan algoritma
transfusi lokal mengurangi angka kejadian
transfusi sebanyak setengah dari
angka keseluruhan, tanpa hasil yang buruk dan dengan efek yang berkelanjutan.
Demikian pula, Mallett menemukan penurunan angka kejadian transfusi sebesar 43%
setelah penerapan pelaksanaan penggunaan pedoman transfusi. Tampaknya logis
bahwa langkah pertama untuk meningkatkan kualitas individu perawatan pasien
adalah pertama dengan mengidentifikasi masalah, dan penghitungan seperti
penelitian ini wajib dilakukan. Setelah dilakukan penghitungan/rekapitulasi
data, langkah-langkah tertentu kemudian diambil untuk meningkatkan pelaksaan
transfusi perioperatif di rumah sakit tersebut. Fasilitas untuk estimasi Hb
(HemoCue ™) telah diperkenalkan. Peneliti mengusulkan untuk meningkatkan
kesadaran tentang penggunaan pedoman transfusi antara staf bagian dan pengulangan
penghitungan pada tahap berikutnya untuk menilai dampak dari intervensi.
Kesimpulan
Rata-rata transfusi perioperatif
pada pasien yang menjalani operasi kanker adalah 16%. Lebih dari setengahnya
mengakibatkan kejadian overtransfusi. Kejadian overtransfusi pada pasien yang
menerima satu unit transfuse tidak lebih tinggi. Dampak dari penelitian ini
pada pelaksanaan transfusi perioperatif di rumah sakit masih harus dinilai.